SEMAPUT DALAM DIRI #4
Saturday, August 18, 2018
22.30. Malam telah jauh larut dalam buaian langit yang berhiaskan pesona bintang dan bulan. Malam yang cukup cerah. Konstelasinya selalu sempurna, karena Desainernya Maha Sempurna. Jika ditarik garis, bentuk berbagai segitiga nampak jelas dan beberapa konsonan N, M, I atau bentuk lainnya. Yazid masih duduk di atas balkon lantai dua di depan padang rumput yang luas. Suara derik jangkrik menjadi melodi tersendiri saat musik instrument Kenny G mendayu-dayu dengan tenang dan pelan terdengar sayup-sayup diantara desiran angin malam.
Sepuluh kilometer dari rumah Yazid, Ali masih duduk di atas sajadah bercucur air mata memanjatkan do’a dengan tak henti-hentinya untuk seseorang yang begitu ia kagumi, sosok yang mampu menuntunnya untuk berbuat lebih baik dari pandangan syariat, yang tak pernah lepas akan al-qur’an sebelum pelajaran dimulai, yang dapat menjadi imam dalam hal pengetahuan agama, sosok yang mungkin tak dimiliki oleh siapapun saat ini, sosok cerdas nan lemah lembut namun tegas. Erna Vismia Nurmalasari. Gadis manis asal Cimahi yang sekarang terkulai lemah di rumah sakit, dan besok akan dirujuk ke RSCU Jakarta.
Di tempat lain Tomoko sibuk dengan berbagai alat eksperimennya untuk mengolah data penyebab ledakan. Keringat mulai bercucuran di wajahnya. Kamarnya ia sulap menjadi laboratorium pribadi dengan alat-alat yang bisa dibilang lebih dari lengkap, tentunya dengan dana yang tidak sedikit, dan itu semua merupakan fasilitas dari beasiswa yang ia dapatkan dari negara asalnya, Jepang. 12 hasil analisis dan 11 hipotesis dengan 9 hasil silang data mengalami kegagalan. Terus mencoba dan menganalisa semua kemungkinan dengan data yang ia dapatkan dengan bantuan gurunya meski melalui teleconference. Kini ia sedang melakukan analisa yang ke 21 untuk menghasilkan sintesis yang ke-20. Penelitian telah berlangsung selama 5 ½ jam dan hanya menghasilkan hipotesis dan sintesis yang ia patahkan sendiri. Penelitian pun berakhir tepat pada pukul 02.30. Ia mulai merasa lelah dan akhirnya memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Tepat pada saat Tomoko beristirahat, alarm milik Ali berbunyi pertanda ia harus bangun dan mengambil air wudlu. Ia pun bangun dan segera mengambil handuk kemudian mandi sebelum ia melaksanakan shalat tahajud. Selepas tahajud ia mengambil al-qur’an, membuka kemudian membacanya pelan, merdu dan sangat menyentuh karena memang ia melantunkannya dengan lagu syikka yang lirih dan bernada syahdu, sedih sangat menyentuh hati bahkan ia sendiri menangis. Ali adalah seorang yang berbakat dalam bidang qiro’at, seorang juara MTQ tingkat provinsi dan pada Agustus mendatang ia akan bertanding di tingkat nasional di Bogor.
Shubuh telah berkumandang, Ali menutup mushaf yang ia baca dan segera bersiap pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah. Pada saat itu Yazid baru terbangun dari tidurnya dan segera pergi mengambil air wudlu. Erna masih terbaring di ruangan putih dengan tenang, tak ada ekspresi.
“De Hikma, udah shubuh! Bangun!” seru ibunya di depan pintu kamarnya.
“iya Bu.” Jawab Hikma dari dalam dengan suara yang terdengar masih sangat berat karena masih digelayuti rasa kantuk.
Ia turun dari kasur, tepat ketika ia menginjakkan kaki kanannya, ia terjatuh karena tak dapat menahan rasa sakit yang timbul saat bagian tesebut mendapat tekanan berat badan.
“aaaah,,,sakit banget nih kaki. Kapan sembuhnya ya?” sambil memijit-mijit bagian atas luka yang masih berbalut perban akibat ledakan waktu itu.
06.30. Mentari mulai menampakkan cahayanya yang masih mengantuk kemerah-merahan di ufuk timur. Langit yang hitam kelam telah berganti dengan warna biru muda. Hari cerah. Bandung kembali beraktifitas seperti biasa, jalan-jalan mulai padat kembali, ramai orang berlalu lalang kesana kemari. Pasar kembali riuh dipenuhi orang-orang yang bertransaksi, para pelajar dan karyawan telah memadati angkutan umum.
Gerbang SMK Hayati tampak kokoh dengan aksen minimalis sedikit dihiasi dengan gaya gothic pada gapuranya. Dengan menggunakan penyangga, Hikma memaksakan diri untuk masuk kelas hari ini, ia tidak mau ketinggalan pelajaran hanya karena sakit kaki yang ia rasakan. “sakit kaki bukanlah alasanku untuk tidak masuk kelas” pikirnya.
“assalamu’alaikum, gimana kabarnya? udah baikan nih?” sapa Oryn pada Hikma saat bertemu dapan kelas.
“wa’alikumsalam, alhamdulillah udah, nih buktinya udah berangkat sekolah lagi, meskipun si mamah ngelarang aku sekolah,” jawab Hikma.
“bener nih? Kalo belum kuat mah mending jangan maksain deh, entar yang repot aku juga lagi, kudu nganterin kamu pulang kalo terjadi sesuatu.” Timpal Yazid bercanda.
“wew, siapa pula yang pengen dianter ma dokter galak macem dirimu.” Balas Hikma.
“wah,,,biarpun sakit, masih bisa diajak perang.” Ali ikut nimbrung.
“waah,,nambah lagi nih enemy nya” timpal Hikma.
Semua begitu bahagia dengan datangnya Hikma ke sekolah, pertanda tak ada yang perlu dikhawatirkan darinya.
“kapan engkau kembali bersekolah ukhti?” Ali membatin karena Erna tak kunjung pulih kembali semenjak dibawa ke Rumah Sakit.
***
09.30 WIB.
Pagi memang masih terasa sejuk, namun suasana di ruang guru terasa agak terpanaskan oleh sebuah forum diskusi hasil penelitian para siswa Bioteknologi IA yang ditugaskan untuk menyelesaikan kasus meledaknya Pu yang menyebabkan jatuhnya satu korban. Diskusi tersebut dihadiri juga oleh para guru pembimbing, Kepsek dan Waka Kesiswaan.
“aku tidak setuju bila demikian!” bentak Tomoko.
“bagaimana mungkin Anda tidak menyetujui hal itu? Bukankah Anda seorang ketua laboratorium? Seharusnya Anda lebih bertanggung jawab.” Timpal Rudi dengan sedikit meledek. Rudi, ketua II Lab. Bioteknologi IA yang sekaligus sebagai pesaing Tomoko pada saat pemilihan ketua Lab tahun ini. Ia sangat kesal dengan kemenangan Tomoko dalam seleksi calon ketua Laboratorium Bioteknologi IA. Sehingga kesempatan ini ia gunakan untuk mendongkrak reputasinya di depan para pembimbing dan pejabat sekolah.
“Anda bilang Pu itu bisa meledak karena ada peningkatan aktivitas yang disebabkan laju reaksi setengah paruh yang meningkat? Itu hal yang mustahil terjadi kecuali ada alasan lain sehingga memperpendek paruh waktunya. Apakah Anda punya bukti bahwa Pu tersebut telah berubah sehingga tidak stabil lagi?” Kata Tomoko.
“mungkin Anda akan terkejut setelah melihat hasil riset ini.” Kata Rudi sambil menunjukkan sebuah lempengan cakram kecil. “mari kita lihat bersama”. Lanjutnya.
Segera seeseorang menyiapkan layar dan proyektor untuk melihat apa yang Rudi bawa.
“hong...bohong...” kata Tomoko lirih sambil menunduk dan menyucurkan air mata. “itu mustahil...tak mungkin itu terjadi...5 ½ jam aku meneliti ulang, tak ku temukan kemungkinan terjadi hal yang demikian...” lanjutnya masih dengan tangisnya.
“Anda telah lihat sendiri hasil riset kami barusan, sejauh mana Anda dapat menganalisis? boleh saya lihat analisa Anda nona?” Rudi semakin mengolok-olok Tomoko.
“jangan pikir penelitian saya akan berakhir di sini tuan Rudi, ini masih berlanjut.” Potong Tomoko dengan air mata di pelupuk matanya.
“benarkah demikian? Benarkah apa yang telah aku saksikan tadi? Bila itu memang benar, maka inilah saatnya aku berangkat kembali ke Jepang.” Bisik hatinya.
Pergolakan dalam diri Tomoko semakin kuat, ia masih tetap tak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi.
“baiklah, aku butuh waktu 10 hari untuk penelitian lebih lanjut.” Tomoko.
“apa tak terlalu pendek 10 hari?” jawab Rudi mengejek.
“oke, 3 hari.” Tomoko langsung pergi dengan tergesa-gesa.
“hei! Lain kali nelitinya pake panduan buku ya…!!!” ejek Rudi sambil berteriak dan berlalu terkekeh-kekeh.
Tomoko berjalan cepat disertai kemarahan, bukan pada Rudi, bukan pada siapapun, namun ia jengkel dengan penelitiannya semalam suntuk yang hanya menghasilkan sebuah kesimpulan yang mempermalukannya di depan para pembimbing laboran.
Melihat Tomoko berjalan tergesa-gesa, Yazid menghampirinya.
“hei!” seru Yazid, sebelum Tomoko lebih jauh pergi dan tak terkejar. Tomoko berhenti dan menoleh lalu perlahan memutar badannya setelah melihat Yazid berlari ke arahnya.
“ada apa?” Tanya Tomoko.
“um,,,um,,,” Yazid bingung untuk mengutarakan pertanyaan, takut dia tersinggung.
“kok cuma “um…um…”?” Tomoko polos.
“anu,,,um,,,penelitiannya,,,” Yazid ragu.
“oh,,,mudah-mudahan bisa beres sebelum aku lulus…” Tomoko datar.
“anu…b...b…boleh aku bantu?” Tanya Yazid sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“hah??? Mau bantu??” Tomoko heran.
“i..iya…hehe” Yazid.
“kenapa kamu jadi gugup gitu sih? Gak biasanya…” timpal Tomoko.
“mmmm….gak apa-apa,,,hanya tadi sedikit ragu aja buat nawarin bantuan,,,heuheu”.
“hmmm…boleh kok…asal jangan banyak tanya aja waktu penelitian berlangsung. Kedua, gak boleh ngajak diskusi ketika penelitian. Ketiga, gak boleh banyak interfensi. Keempat, kalau hasil penelitian kita berbeda, siap melakukan cross check meski yakin kebenarannya. Kelima, bersedia datang ke rumahku. Keenam, HP mesti mati selama penelitian. Ketujuh, tidak melakukan hal-hal yang gila. Kedelapan, gak boleh bawa orang lain selain yang aku izinin. Kesembilan, tidak ada izin keluar ruangan sebelum selesai. Kesepuluh, bawa makanan ya. Setuju?” Tomoko menjelaskan peraturan dengan lancar dan diakhiri dengan senyum manis khas Jepangnya.
“hah? Kok banyak banget peraturannya ya? Aku gak nyangka sebanyak itu peraturannya. Tapi aku setuju aja.” Yazid siap.
Setelah itu, keduanya berlalu. Jam pulang ternyata agak lebih awal mengingat para guru akan rapat untuk mencari penyelesaian kasus ledakan Pu di Lab. Bioteknologi IA. Sesampainya di rumah, Yazid langsung menyambar buku yang mungkin diperlukan untuk membantu Tomoko.
“tit” hp Yazid berbunyi pertanda ada pesan masuk. “ku tunggu di rumah jam 8 malam ini.” Isi pesan dari Tomoko.
“hmmmm…” gumam Yazid.
***
“tok,,,tok,,,tok,,,” Yazid mengetuk pintu.
“masuk…” mempersilahkan.
“kamu di sini sendiri?” tanya Yazid sambil lirik sana-sini, takjub dengan megahnya ruangan.
“iya, emang kenapa?” Tomoko balik tanya.
“hebat! kamu bisa ngurus semua ini, padahal rumahnya gede banget…” Yazid terkagum-kagum.
“yang namanya cewe itu mesti bisa ngurus rumah, Pak!” timpal Tomoko datar.
“hmmm….” Yazid sambil mengangguk pertanda setuju. “dimana ruangannya?” tanyanya.
“ikuti saja aku, ntar juga nyampe…” Tomoko datar.
Mereka naik tangga menuju lantai dua yang lebih tertutup. Mungkin ini kamar pribadi Tomoko yang disediakan oleh pemerintahannya sebagai bagian dari fasilitas beasiswa.
“mulai dari sini kita tak diperkenankan untuk berbicara kecuali penting. Oke?!” kata Tomoko.
“okeh!” jawab Yazid sambil nyengir.
Pintu kamar dibuka dan nampaklah berbagai peralatan penelitian di ruang tersebut.
“busyet! Kumplit banget! Berantakan pula!” seru Yazid kaget.
Wajah Tomoko tetap datar, mungkin dia sudah memprediksi ekspresi seperti apa yang akan ditampilkan Yazid saat melihat ruang tersebut.
“menurutmu ini berantakan?” tanya Tomoko sambil tersenyum, seakan-akan ada sesuatu yang tersembunyi dalam senyum manisnya itu.
“untuk ukuran cewek ini berantakan banget!” jawab Yazid.
“nah, kalo begitu kamu beresin yaa….” Tomoko sambil tertawa kecil.
“eh, enak aja….!” Timpal Yazid.
“masih ingat peraturan yang aku ajuin sebelumnya kan?” ancam Tomoko.
“hmmmm…pantes aja…” Yazid mengeluh dan langsung merapihkan peralatan penelitian.
Sedangkan Tomoko masuk ke kamarnya.
Setengah jam telah Yazid lalui dengan membereskan peralatan laboratorium milik Tomoko. Dengan gontai ia menuju kursi setelah menyimpan tabung erlenmeyer terakhir kemudian menjatuhkan dirinya di sofa dekat lab.
Begitu Yazid jatuh, pintu ada yang mengetuk dan kemudian terdengar salam dari seorang perempuan yang ia kenal betul suaranya.
“assalamu’alaikum…” Oryn.
“Zid, tolong buka ya, siapa yang datang?!” teriak Tomoko dari dalam kamar.
“jadi ceritanya aku bener-bener jadi pembantu kamu, gitu?!” Yazid agak manyun.
“hehehe…ya enggak lah. Kan aku masih ganti baju…” Tomoko menghibur.
“hmmmm….” Yazid melenguh dengan muka manyun.
“lha! Kok kamu di sini?! Ngapain?! Nah lho…jangan-jangan….” Oryn
“jangan-jangan kamu ngintip yaa?!” canda Yazid dengan menampilkan muka menyelidiki.
“naaahh lhooo…ketahuan…aku laporin ke Pa Kepala Sekolah yaa…” ancam Oryn canda. “jadi aku boleh masuk gak nih?! Kok didiemin depan pintu sih?! Awas, aku mau masuk!!” lanjutnya.
“eh maaf, silahkan nona muda…” Yazid membungkuk dan mempersilahkan Oryn masuk layaknya pelayanan kepada seorang putri raja.
“ikh…gaje banget si Yazid…” Oryn.
Oryn masuk ke ruangan dan melihat-lihat peralatan penelitian Tomoko.
“wow! Keeerrreeeennn!!!” Oryn terkagum-kagum melihat peralatan yang ada di ruang laboraturium dadakan Tomoko.
“biasa ajjaaa kaleeee…” Yazid menimpal diikuti tawanya.
“berisik ih, ni anak. Nimbruung ajaaahh…” Oryn.
“Ziiid, besok kamu minta daftar hadir semua siswa dari tiap kelas pada hari ledakan terjadi ya!” Tomoko berteriak dari dalam kamarnya.
“buat apa?!” Yazid balik teriak.
“buat diselidiki lah…. gimana sih… agak lola juga ya ternyata sang jenius teh…” canda Oryn.
“beuh… itu menandakan kalo aku lagi berfikir keras dan telah ku temukan beribu kemungkinan jawaban, jadi sebagai klarifikasi, aku tanyain langsung sama yang bersangkutan…” timpal Yazid.
“jangan lupa ya!!!” teriak Tomoko.
“iyaaa…!!!” teriak Yazid.
Akhirnya penelitian pun dimuai.
***
Sementara Yazid, Oryn dan Tomoko sibuk dengan penelitian mereka, Ali lebih giat berlatih melantunkan ayat-ayat al-qur’an dengan nada-nada gaya baru nan indah dan memperbanyak hafalannya sebagai persiapan untuk mengikuti lomba tingkat nasional di Bogor yang akan tiba tak lama lagi. Ia dibimbing oleh seorang kiayi ahli qiro’at yang merupakan kakak Erna.
“Kang, gimana kabarnya Erna sekarang?” tanya Ali ke gurunya setelah selesai latihan.
“Alhamdulillah, dia sudah siuman dan boleh rawat jalan.” Jawabnya.
“Alhamdulillah, sejak kapan dia pulang Kang?” tanya Ali.
“kalo gak salah dua hari yang lalu.” Tukasnya.
“bukannya dua hari yang lalu saya jenguk masih ada, Kang?” Ali heran.
“dia pulang malam. O iya, katanya kamu sering jenguk Erna ya?” tanya sang ustadz dengan diikuti senyum.
“iya Kang, saya khawatir dengan keadaannya. Apalagi pas dia kejang-kejang di sekolah.” Jelas Ali.
“yaa… memang dia mengidap epilepsy sejak lama. Dia rutin memakai obat untuk menghilangkan efek penyakit tersebut. Tapi ternyata kumat lagi, bahkan lebih parah.” Paparnya
“emang sejak kapan, Kang?” Ali penasaran.
“kalo gak salah, gejalanya itu muncul waktu dia berusia 10 tahun.” Jawabnya.
“oh gitu…” Ali. “o iya Kang, boleh saya ketemu beliau sekrang?” tanyanya.
“boleh, tuh di dalem, entar aku panggilin.” Sang ustadz pun pergi memasuki ruang keluarga dan kemudian ke kamar Erna.
“Ali ingin menemuimu.” Kata sang ustadz kepada Erna.
“iya, aku ke sana.” Jawab Erna agak malas.
Erna keluar. “Assalamu’alaikum…”
“waalaikumsalam…” Ali tergagap. “Alhamdulillah…” lanjutnya.
“orang sakit kok dikatain “Alhamdulillah”?” Erna mencoba bercana.
Ali: “yaaa…maksudku Alhamdulillah sekarang mbok Erna udah baikan, gt lho”
Erna: “hmm…” diikuti anggukan kepala. “ada apa nih? Latihan lagi sama abangku?”
Ali: “iya, persiapan buat lomba”
Erna: “tingkat nasional di Bogor kan?” timpalnya tanpa ekspresi sebelum Ali menyelesaikan kalimatnya.
Ali: “iya…emmm… besok mau sekolah?” Ali mencari topik.
Erna: “insya Alloh”
Ali kehabisan bahan pembicaraan, akhirnya denting jam dinding yang mewakili percakapan batin mereka di ruang itu.
“Ehm...” tiba-tiba suara deheman kakak Erna mengagetkan kedua anak yang membatu itu.
“eh, silahkan dinikmati hidangannya..” Erna secara spontan mempersilahkan Ali. Ali tersenyum.
“kayaknya aku harus pulang dulu, tapi Akang mana ya? Aku mau pamit.”
“Kang!” Erna memperkeras suaranya memanggil kakaknya.
Sang ustadz pun keluar mendekati kedua remaja itu, “kenapa?” tanyanya.
“saya mau pamit, Kang.” Kata Ali.
“oooh… ya udah, nanti hari ahad kita latihan nada baru. Bisa?”
“insya Alloh, Kang.” Ali.
Ali pun bertolak menuju rumahnnya.
***
Waktu presentasi tiba.
“baik, berhubung semua pihak telah ada, kita langsung saja mulai forum ini.” Pak Doni, ketua forum yang juga sebagai penyelidik dari kepolisian.
“bukannya sekolah tidak akan menyertakan kepolisian untuk menyelesaikan kasus ini?” pikir Tomoko.
Rudi bingung, siapa Pak Doni ini. Kok tiba-tiba ada di sekolah dan memimpin forum.
Pak Doni adalah kepala tim forensik di kepolisian setempat. Beliau diminta bekerjasama oleh kepala sekolah 2 hari setelah ledakan terjadi untuk turut menyelidiki kasus tersebut.
“baik, untuk yang pertama, siapa yang akan mempresentasikan hasil telitiannya?” Pak Doni membuka forum dengan penawaran presentasi.
“Pak!” Rudi mengacungkan tangan. “Saya kira langsung saja kita menyaksikan presentasi nona Tomoko, karena presentasi milik saya telah saya sajikan pada forum sebelumnya.” lanjutnya.
“maaf Dek Rudi, sehubungan saya baru bergabung dalam penyelidikan ini, saya ingin tahu juga hasil riset Dek Rudi.” Jawab Pak Doni.
“baiklah, saya terlebih dahulu akan mempresentasikan milik saya.”
Rudi pun mempresentasikan dengan yakin hasil risetnya sesuai dengan materi yang sebelumnya hingga akhir.
“maaf Dek, boleh saya bertanya?” Pak Doni hendak mengajukan pertanyaan.
“silahkan.” Jawab.
“bila hasil riset Dek Rudi demikian, saya berkesimpulan bahwa Plutonium yang meledak merupakan hasil percepatan reaksi secara paksa dengan suatu unsur yang cenderung sangat reaktif dan memperpendek paruh waktu, namun kemungkinan tersebut terbantah dengan tidak ditemukannya unsur yang memungkinkan hal tersebut terjadi, karena pihak kami sebagai kepolisian juga turut diminta untuk menyelesaikan kasus ini sehingga kami juga mengambil beberapa sampel untuk diteliti, dan kami tak jumpai suatu unsure atau senyawa yang memungkinkan hal itu terjadi. Lantas apa yang terjadi dengan plutonium tersebut sehingga laju reaksinya begitu cepat dan meledak?” tanya Pak Rudi.
Rudi agak tergagap dengan pertanyaan dari Pak Doni. Namun untuk mempertahankan argumennya, dia pun menjawab “bukankah oksigen sangat reaktif terhadap plutonium? Dan tentunya kita tahu bahwa oksigen begitu banyak di udara.” Jawab Rudi puas. Pak Doni pun manggut-manggut.
“baik, agar tak terlalu berbelit-belit, kita langsung saja melihat hasil riset Dek Tomoko yang katanya ini riset kedua, betul?” Pak Doni bertanya disusul dengan anggukan Tomoko.
“baik. Begini, memang apa yang disajikan oleh saudara Rudi tadi saya akui sudah benar, hanya saja ada yang terlewat.” Tomoko memulai. “reaksi fisi yang terjadi saat itu sangat singkat dan ini merupakan suatu siklus yang telah diatur sedemikian rupa, karena bila ini adalah reaksi secara alami, tentu plutonium tersebut akan mencapai tingkat tersebut kurang lebih 23 tahun lagi. Di samping itu, ledakan yang terjadipun tak sehebat jika meledak secara alami. Dengan kata lain, ledakan ini telah direncanakan dengan baik oleh seseorang yang cukup hebat dalam kimia. Ini didasarkan pada ketiadaan unsure reactor pemicu baik di ruangan maupun pada plutonium sisa ledakan yang masuk ke kaki Hikma.” Papar Tomoko. “ada pertanyaan?” tanyanya kemudian.
“lantas apa yang menyebabkan meledaknya plutonium itu jika memang demikian?” tanya Rudi.
“seseorang memasukan unsure buatannya sendiri untuk mempercepat laju reaksi plutonium sehingga pada saat keadaan kritis, plutonium tersebut dengan reaksi yang diberikan unsure buatan itu meledak dengan intensitas yang telah diperhitungkan. Jadi sisa plutonium yang terdapat di kaki Hikma bukanlah kebetulan, tapi memang sudah disetting sebelumnya. Dan perlu diketahui, saya ke sini bukan hanya mengungkap kasus ini belaka, tapi juga saya akan menunjukkan siapa pelaku penyimpan unsure pemicu itu.” Sampai sini, Tomoko berhenti berbicara.
Ruangan sepi menegang. Hening. Semua menanti kelanjutan paparan Tomoko. Rudi semakin tegang, raut mukanya memerah dan keringat keluar. Para guru mulai berdiskusi dalam bisikan. Nampak kepala sekolah berbisik pada Pak Doni. Entah apa yang dibisikan ke telinga polisi tersebut. Namun yang terbaca bahwa Tomoko akan diberikan kesempatan untuk melanjutkan presentasinya melalui tatapan yang diikuti anggukan Pak Doni beberapa kali yang terfokus kepada Tomoko.
“oke. Silahkan nona Tomoko untuk melanjutkan paparannya, kita ungkap siapa pelakunya.” Pak Doni mencairkan suasana sambil melempar senyum pada Tomoko.
“baik. sebelum saya sebutkan siapa pelakunya, saya akan paparkan bukti-buktinya terlebih dahulu.” Tegas Tomoko. “pertama, berdasarkan absensi siswa pada saat kejadian, diketahui ada 21 siswa yang tidak hadir karena izin, 7 karena sakit dan 12 tanpa alasan. Tingkat absen ini merupakan tingkat ketidakhadiran tertinggi kedua setelah 2 tahun yang lalu saat kasus kebakaran kantor kepala sekolah terjadi. Kedua, diketahui bahwa seseorang yang menyukai korban, namun pada saat mengungkapkan perasaannya ia ditolak. Ketiga, terdapatnya asumsi bahwa ada indikasi ketidaksukaan terhadap saya sebagai ketua Lab. Bioteknologi.” Tegas Tomoko.
Rudi langsung tertunduk, mukanya memerah. Kemudian bangkit dengan kemarahan. “baik, memang pada hari itu aku tidak hadir ke sekolah karena ada hal penting yang harus dilakukan, memang aku menyukai korban dan ternyata ditolak, dan memang aku kesal dengan kemenanganmu menjadi ketua lab! Tapi bukan aku pelakunya!” teriaknya.
Dengan tenang Tomoko menjawab, “memang bukan Anda, Saudara Rudi. Saya kira saudara Rudi mempresentasikan hal ini pun dalam keadaan, maaf, terhipnotis.”
Semua mata yang tertuju pada Rudi langsung menatap Tomoko dengan serempak. Semua terheran-heran. Semua bertanya dalam hati “siapa jika bukan Rudi?!”
“lantas siapa?!” seorang asisten Rudi, Dendi, bertanya terheran-heran.
“pelakunya adalah….” Tomoko berhenti sejenak dan menatap setiap orang. Semua menegang dengan jeda yang berikan Tomoko, menanti kelanjutan kalimat yang akan terlontar dari mulutnya. Berharap sebuah nama disuguhkan oleh sang Tomoko Hanada.
“Anda…” Tomoko menunjuk seseorang disebelah Rudi. “Saudara Indra, anda lah pelakunya!” tegas Tomoko. Sontak seluruh mata tertuju pada Indra. Indra tergagap dan wajahnya memerah.
Ia tersenyum, dan dengan tenang bertanya pada tomoko, “any evidence to prove those all clear?”
“kesetiakawananmu dimanfaatkan pelaku yang merupakan otak dari kejadian ini. Dia tahu bahwa Anda sangat setia kawan pada teman-teman Anda, termasuk pada Rudi yang pernah jatuh hati pada Hikma namun nyatanya ditolak. Anda yang menjadikan ruangan Lab begitu berantakan, memecahkan beberapa peralatan sebagai alibi agar nampak telah terjadi semacam perampokan atau apapun, menaruh plutonium di dekat brankas sesuai intruksi dari pelaku yang merupakan otak dari kejadian ini, padahal hanya 5 orang saja yang saya beritahu kode berangkas ini. Salah satunya adalah Anda, dan memberitahukannya pada Hikma setelah settingan selesai.” Jawab Tomoko datar.
“siapa saja yang kau beri tahu kode itu?” timpal Rudi yang merasa tidak percaya dengan paparan Tomoko.
“Anda, Saudara Rudi, kemudian Indra, Hikma, Pak Kepala Sekolah dan Guru Pembimbing Lab kita.” Jawab Tomoko datar.
“bukankah masih ada kemungkinan Rudi pun melakukannya?” sergah Indra yang mulai terpojokkan. “Bukankah dia lebih berpotensi melakukan hal itu? Maksud saya bahwa Rudi yang merasakan hal-hal yang Anda sebutkan tadi.” Indra menjelaskan kalimatnya.
“itu tidak mungkin, pada saat kejadian Rudi tidak ada. Di samping itu, setelah Anda memberitahu Hikma bahwa lab dalam keadaan berantakan, Anda pergi begitu saja karena takut ledakan yang mungkin terjadi dapat melukai Anda. Bila kau tak tahu tentang ledakan itu, tentunya bukan sekedar memberitahu Hikma, tapi segera membereskan lab tanpa perlu memberitahu Hikma sekalipun” Timpal Tomoko.
Akhirnya Indra pun mengakuinya, “baiklah. Aku mengakuinya, memang aku yang menyimpan reaktan itu. Tapi…” belum juga dia menyelesaikan kalimatnya, Tomoko memotong pembicaraannya.
“tapi sayangnya bukan dia yang kita cari, namun dalang dari kejadian ini. Dan dia adalah, Anda, Pak Kepala Sekolah.” Tegas Tomoko pada kepala sekolah dengan tatapan tajam.
Sontak seluruh peserta terkejut dengan apa yang dilontarkan Tomoko. Ruangan menjadi sedikit ramai.
“sudahlah, saya harap drama ini sudah berakhir. Pada semua guru, saya harap sudahi acting anda sekalian. Semuanya telah saya ketahui bahwa dari awal sampai hari ini adalah drama belaka. Sebuah scenario yang diciptakan oleh Bapak Kepala Sekolah yang bekerjasama dengan berbagai pihak. Semua telah terencana begitu matang.” Jelas Tomoko.
“apa maksudmu?! Beraninya kau mengatakan hal itu pada Pak Kepala!!!” sergah Yazid.
“maaf Yazid, tapi itulah kenyataannya. Semua ini hanyalah teka-teki yang diciptakan professor kita untuk menguji kita selaku kepala sekolah yang ingin mengetahui perkembangan kita, yang ingin mengetahui hasil belajar kita.” Jelas Tomoko datar dengan tatapan tetap pada kepala sekolah.
“bila demikian, sejak kapan kau menyadarinya? Dan jelaskan padaku evidences-nya…” Pak Kepala Sekolah bertanya dengan tenang. Nampak Pak Doni tersenyum setelah Pak Kepala meminta penjelasan pada Tomoko. Guru-guru pun kemudian diam, sebagian ada yang berdiskusi dalam bisikan, sebagian lain ada yang tersenyum-senyum yang disertai gelengan ketidakpercayaan.
“baik. Yang menjadi dasar pertama saya adalah, dalam penyelidikan kasus ini, hanya beberapa guru yang diperbantukan bagi siswa. Kedua, tiga hari sebelum kejadian, kami telah Anda ajari tentang radioaktifiatas, padahal bila melihat susunan buku, materi tersebut seharusnya disampaikan mungkin bulan depan. Ketiga, Anda memberikan tugas tambahan pada Rudi untuk menyelesaikan soal ujian bagi seorang sarjana, meski saya akui bahwa Rudi adalah yang paling mampu di bidang radioaktifitas, tapi tak semestinya menerima soal seperti itu. Keempat, tidak ada seorangpun yang dapat membuat unsur atau senyawa yang dapat memicu percepatan dengan kecepatan tersebut, disamping itu tak ada yang dapat membuat ledakan seperti itu, dengan ukuran ledakan yang terukur kecuali Anda, Pak Profesor. Kelima, dibawanya Hikma ke rumah sakit hanyalah alibi, buktinya setelah ambulan tersebut keluar gerbang, siswa tidak diizinkan melihat mengiringkan ambulan tersebut hingga tak nampak, trik ini dilakukan agar kami tak mengetahui bahwa ambulan tersebut berbelok dan memasukan Hikma yang telah pingsan ke ruang Bu Eka lewat belakang. Hal ini diketahui setelah saya mencari botol obat antibiotic di disposave box yang ternyata tak ditemukan, yang ada hanyalah sedative untuk menjadikan Hikma pingsan dan tak menyadari bahwa ia tak dibawa ke rumah sakit, melainkan ruang Bu Eka yang memang telah disetting seperti kamar di rumah sakit. Apa itu cukup?” Tomoko bertanya setelah menyelesaikan paparannya panjang lebar.
“penjelasan yang baik. Tapi apakah kamu tahu jika plutonium masuk ke dalam tubuh seseorang, maka akan terjadi penyerapan pada tulang dan akan terkumpul di jaringan liver yang tentunya ini membahayakan muridku sendiri?” tanya kepala sekolah.
“ya, memang. Namun ternyata Anda telah memperhitungkan segalanya. Ini terbukti dengan telah berubahnya plutonium tersebut menjadi timbal yang stabil sehingga mengurangi resiko tersebut. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh siapapun kecuali anda yang benar-benar menguasai kimia.” Jawab Tomoko.
“Tomoko, apa itu tidak terlalu jauh menuduh Pak Kepala Sekolah seperti itu?” timpal Yazid.
“tidak, kebenaran harus terkuak saat ini juga, agar Pak Kepala tak merasa gagal dalam mengajar kita.” Jawab Tomoko. “lihatlah, para guru tersenyum. Mereka tahu ini telah berakhir. Semua guru bekerjasama satu dengan yang lainnya, agar suasana mendukung. Bahkan Pak Kepala mendatangkan Pak Doni, ini adalah bagian dari skenarionya agar nampak bahwa kasus ini sangat rumit padahal sederhana saja.” Tomoko datar.
“satu hal yang belum terjawab, sejak kapan kau menyadarinya?” tanya professor dengan diiringi senyum.
“setelah penelitian yang dibantu Yazid dan Oryn tiga hari sebelum ini dilaksanakan.” Jawab Tomoko.
“Pak, boleh saya bertanya?” Oryn angkat bicara.
“boleh, silahkan…” pak professor dengan tersenyum.
“mengapa mesti Hikma yang dijadikan kelinci percobaan?! Apa bapak tidak kasihan ke dia?!” Oryn merasa tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh professor.
“Oryn, anakku. Apakah kau ikut menuduhku juga?” pak professor berbalik tanya.
“maaf… tapi bukti-bukti tadi sudah cukup bagi saya menunjukkan bahwa otak dari semua ini adalah Anda.” Oryn hampir menangis.
“anakku, memang semua ini aku yang melakukan. Namun semua ini atas izin dari orang tua kalian, silahkan kalian bertanya pada mereka. Tak mungkin saya melakukan hal seperti ini tanpa izin terlebih dahulu dari orang tua kalian. Sejak dua tahun yang lalu, saya telah merancang berbagai ujian untuk mengetahui perkembangan kalian. Termasuk membeli brankas tipis itu, hal itu saya lakukan untuk mempermudah ledakan.” Paparnya.
“apakah Bapak terpikir bagaimana jika metal dari brankas itu mengenai bagian lain dari tubuh Hikma sehingga membahayakan nyawanya?” sergah Yazid.
“ya, saya telah perhitungkan hal itu. Oleh karena itu saya rekatkan beberapa lapis selotip khusus yang dapat meredam daya ledak. Bukankah Tomoko pun telah membahasnya tadi?” professor.
“tapi kenapa mesti Hikma yang menjadi korban?!” serbu Oryn.
“karena hanya tubuh Hikma yang dapat menerima timbal dengan baik tanpa ada penyerapan apapun di darah, tulang maupun penumpukan di hatinya. Dengan kata lain, hanya tubuh Hikma yang mempunyai kelebihan itu. Di samping itu, pancaran sinar alfa yang terjadi saat ledakan, akan memperbaiki jaringan dalamnya. Sebenarnya dia mengidap penyakit dalam aliran darahnya. Dengan bantuan sinar alfa yang terpancar, yang sebelumnya telah disesuaikan dengan kebutuhan, diharapkan dia akan semakin lebih baik. Coba lihat saja perkembangannya 3-4 minggu ke depan. Mudah-mudahan ia akan lebih sehat.” Papar kepala sekolah.
Oryn menangis setelah mendengar penjelasan dari kepala sekolah. Mungkin dia merasa sedih karena tak memahami mengapa harus dengan cara ledakan seperti itu untuk terapi Hikma. Dia berpikir mungkin ada cara lain yang sekiranya lebih “etis” dilakukan untuk menjalankan terapi. Ia pun keluar ruangan disertai isak tangisnya. “biarkan.” Kata kepala sekolah kepada Yazid yang hendak mengejarnya. “hal itu adalah proses penerimaan secara psikis, setelah mengerti ia akan menyadari apa yang telah saya lakukan.” Lanjutnya.
“oke, semuanya telah clear kan?!” Pa Doni angkat bicara.
“ya sudah, semua telah usai…” timpal seorang guru.
“belum!” kata Yazid setengah berteriak pada para peserta.
“apa lagi?!” serempak para guru bertanya.
“merayakan keberhasilan Tomoko!” pekiknya.
Semua tertawa. Suasana tegang kini berganti ramai, penuh suka cita. Tomoko menangis bahagia. Semua guru menyalaminya. Satu persatu, memberikan selamat atas keberhasil Tomoko mengungkap kasus ini. Mendengar keramaian di ruang tersebut, para siswa tertarik untuk melihat apa yang terjadi.
“baiklah, untuk acara selanjutnya, mari kita menuju aula!” seru Pak Doni setelah mendapat bisikan dari pak kepala sekolah.
Akhirnya seorang guru membuka pintu ruangan dan menyuruh seluruh siswa untuk berkumpul di aula untuk melaksanakan upacara khusus penyematan penghargaan bagi Tomoko, Yazid dan Oryn yang telah berhasil memecahkan teka-teki dari kepala sekolah.
Ruangan forum telah sepi. Hanya ada Tomoko, Yazid, Rudi, Indra, Dendi dan pak kepala sekolah. Semua guru telah pergi ke ruang aula.
Kini, dihadapan Tomoko, seorang siswa tampan yang pintar di bidang radioaktifitas berdiri dengan air mata yang terbendung. Entah senyum atau tangisan yang harus muncul, seakan akan dia bingung memilih mana yang harus ia tampakkan di hadapan Tomoko, yang jelas rasa kagum dan bangga yang tak terhingga memenuhi rongga dadanya. Perlahan dia mengulurkan tangan kanannya yang gemetar, mungkin karena terlalu bahagia hingga tubuhnya pun tak dapat menahan getaran kebahagiaan itu.
“aku sungguh tak menyangka, memiliki teman sepertimu. Sebelum ini terjadi, kau ku anggap musuhku. Namun di sisi lain kau selalu menganggapku teman meski kau sadari bahwa aku cenderung membencimu karena aku kau kalahkan dalam pemilihan ketua waktu itu. Maaf atas kesalahnku, terima kasih telah memberiku suatu pembelajaran yang tak terhingga…” Air matanya menetes, kalimatnya tak sanggup ia lanjutkan karena tangisan yang tak tertahan lagi.
“sudahlah… mungkin memang mesti seperti ini dulu. Setidaknya aku jadi memahami bahwa kau romantis juga…” Tomoko pun berusaha membendung air matanya dengan sedikit berguyon, namun gagal. Air matanya masih saja menetes. Hanya ia masih dapat memperlihatkan senyum yang dipaksakan bersama dengan tangis yang menyembul dari wajah cantiknya.
Yazid, Indra, Dendi dan pak kepala sekolah hanya tersenyum bercampur haru. Suasana begitu membiru. Setiap mereka merasakan hal yang tak mereka mengerti. Kebahagiaan yang tak terungkapkan. Keharuan yang tak terdefinisikan. Hening. Menikmati perasaan masing-masing. Setelah beberapa saat, semuanya pergi ke aula.
***
Matahari mulai menyembulkan percikan sinarnya. Tomoko masih terkantuk-kantuk, mungkin karena lelah yang menghinggapinya setelah bekerja keras untuk menyelesaikan kasus yang ternyata adalah sebuah teka-teki dari professor yang juga sebagai kepala sekolah.
Yazid mulai menyibukkan diri dengan olah raga ringan sebelum berangkat sekolah dengan berlari-lari kecil di halaman rumah. Ali sudah siap berangkat menuju Kota Hujan untuk mengikuti lomba pelantunan kalam ilahi yang dikenal dengan MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an).
“tit” suara HP Erna berbunyi, tanda sebuah pesan masuk.
“hari ini temui ibu di lab. Radiologi. Penting.” Demikian pesan singkat dari Bu Rika Burdatul Syauqi, pembimbing Erna di laboratorium dan organisasi kerohanian.
“insya Alloh.” Balas Erna.
***
Sekolah telah ramai dengan perbincangan para siswa, mereka begitu antusias bercakap-cakap dengan temannya. Namun entah apa yang dibicarakan, mungkin karena terlalu gaduh.
Erna berjalan melewati beberapa siswa yang sedang asyik membicarakan hal yang tak jelas. Lalu kemudian Rudi memanggilnya.
“Erna!!!” teriak Rudi sambil berlari mendekati Erna. Erna hanya terus berjalan karena tidak menyadari Rudi memanggilnya.
“Erna” kata Rudi sambil menepuk bahu kiri Erna.
“ada apa?” Tanya Erna.
“kamu udah tahu kabar Pak Kepala?” tanyanya.
“belum, memang kenapa?”
“katanya beliau sakit parah. Hari ini OSIS bersama para guru akan berangkat menjenguk beliau” papar Rudi.
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun… sakit apa memangnya?” Erna kaget.
“entahlah, yang jelas semua anggota OSIS disuruh kumpul sekarang.” Rudi menjelaskan.
“aduh, aku ada meeting dulu sama Bu Rika, gimana ya? Gimana kalo kalian meeting dulu, terus kalo aku udah selesai baru aku nyusul ke ruang OSIS, itu juga kalo belum selesai rapatnya.” Tawar Erna.
“okeh. Eh, emang ada meeting apa sih sama Bu Rika?” Rudi penasaran.
“entahlah, aku juga ga tahu.” Jawab Erna.
“ya udah, aku ke OSIS dulu, entar cepet datang ya kalo udah selese.” Kata Rudi sambil pergi meninggalkan Erna.
“insya Alloh.” Jawab Erna datar.
“assalamu’alaikum warohmatulloh…” Erna meminta izin masuk ruangan laboratorium.
“wa ‘alaikum salam warohmatulloh… masuk…” jawab yang di dalam.
Erna masuk ruangan dan kemudian mendekati Bu Rika.
“bagaimana Bu?” Tanya nya.
“begini Na, Ibu dapat kabar kemarin bahwa Pak Kepala teserang penyakit yang cukup parah, kamu udah tahu?”
“saya baru tahu barusan dari Rudi, memangnya pak kepala terkena penyakit apa kalo boleh tahu?”
“Beliau terserang penyakit TBC tulang.”
“innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun… lalu bagaimana perkembangannya sekarang?”
“hari ini beliau masuk rumah sakit untuk dikemoterapi, namun Bu Eka menyarankan untuk menunda dulu cara tersebut, dan beliau meminta kita untuk mengembangkan teknik pengobatan dengan laser yang ditembakkan pada beberapa titik untuk terapi pak kepala. Nah, sebagai pemegang tanggung jawab, Ibu mau mengajakmu juga teman-teman untuk meneliti dan mengembangkan teknik terapi itu sama-sama. Gimana? Kamu minat?” papar Bu Rika yang berujung dengan penawaran.
“insya Alloh, saya siap. Kapan kira-kira kita mulai programnya?” sambut Erna semangat.
“sekarang saja, semakin dini dimulai semakin banyak waktu yang dapat kita gunakan.”
“mmmm… Ibu, boleh kita mulai nanti siang saja?” Tanya Erna ragu.
“memang kenapa? Kamu ada agenda?” Tanya Bu Rika.
“sebenarnya iya, saya mau rapat dulu di OSIS, ini mengenai pak kepala juga…”
“oh, ya udah, silahkan saja. Nanti jika urusanmu sudah selesai, baru kita mulai. Kira-kira sampai jam berapa rapatnya?”
“mungkin sampai dhuhur, Bu.”
“oke. Sambil nunggu kamu rapat, biar ibu menyiapkan beberapa hal yang mungkin nanti diperlukan.”
“assalamu’alaikum…” Erna pamit keluar.
“wa ‘alaikum salaam…” jawab Bu Rika.
Erna keluar dari ruangan tersebut menuju OSIS dengan tergesa-gesa.
“assalamu’alaikum…” Erna izin masuk ruangan.
“waalaikumsalam” semua anggota menjawab.
“sudah sampai mana hasil rapatnya? Maaf tadi aku menemui Bu Rika dulu.” Erna meminta pemakluman rekannya.
“sudah selesai, kita semua sepakat untuk berangkat hari ini menjenguk pak kepala.” Jawab salah satu anggota menyeloroh.
“oh, udah selesai ya…” Erna kecewa.
“belun, Na.” ucap sang ketua OSIS. “kita baru aja ngumpul semua, baru dimulai kok.” Lanjutnya sambil senyum.
“hmmm.” Erna merasa dipermainkan. “ya udah, kita lanjut rapatnya.” Nadanya agak kesal.
“oke, mari kita mulai.” Sang pemimpin memulai rapat.
“Sebagaimana perkembangan berita yang beredar, hari ini pak kepala masih terbaring di rumah sakit, dan kita akan menjenguk beliau hari ini, tepatnya ba’da maghrib pas jam besuk. Bagaimana? Setuju?” lanjut ketua OSIS. Diikuti dengan anggukan seluruh peserta rapat.
“transportasi?” seorang anggota mengacungkan tangannya sambil bertanya.
“untuk alat transportasi ada dua opsi, pertama memakai kendaraan masing-masing bagi yang punya, adapun yang belum punya kendaraan bisa ikut ke yang punya. Kedua, kita menyewa mobil, dan tentunya kita gunakan uang kas organisasi untuk pembayaran. Bagaimana?” jelas ketua.
“aku rasa mending opsi kedua aja deh, soalnya biar kita sama-sama, biar nggak pada nunggu. Kalo sendiri-seniri kan ntar gak berbarengan dating ke RS nya…” timpal seorang anggota perempuan.
“kalo aku sih cenderung ke opsi pertama, alasannya untuk iritisasi budget, hehe…kalo masalahnya cuma biar bareng, kita bisa berangkat bareng kok dari sini dan gak saling tinggalin satu sama lain.” Seorang anggota laki-laki menimpal.
“oke, kita perhitungkan untung rugi kedua opsinya.” Pungkas sang ketua.
“ah kelamaan, udah aja kamu yang mutusin Rud, kamu kan ketua, lagian aku ada agenda lagi sama Bu Rika biki penelitian.” Erna angkat bicara.
“tapi kan semuanya juga harus berdasar hasil musyawarah, Na. nggak bisa donk aku mutusin begitu aja. Kan ntar jadi otoriter.” Jawab Rudi.
“ya udah, sok atuh putusin mau gimana?” Erna mengembalikan ke forum.
“pak ketu, kalo menurut say amah biar yang mau pake pribadi pake pribadi, yang mau rombongan sewa mobil ya jalan, cuma bayaran sewanya pake uang pribadi. Maksudnya biar yang mau pake kendaraan pribadi gak terhalang, yang mau bareng pake mobil sewaan tetep berangkat. Cuma kita janjian aja di sananya jam berapa mesti nyampe. Yang pake kendaraan pribadi kalo bisa lebih awal, jadi bisa nyari info posisi kamar pak kepala. Gimana?” Riska mengajukan usulannya.
“nah, cakep tuh usulnya, aku lebih setuju gitu.” Timpal seorang anggota laki-laki.
“yang lainnya gimana?” Tanya ketua.
“ya udah, gitu aja, paling sekarang mah siapa yang mau naek kendaraan pribadi, siapa yang mau naek kendaraan sewaan?” pungkas seorang anggota.
“sok atuh di data, Ceu Sekre, coba didata ya…” perintah Rudi ke sekretarisnya.
“siap komandan!” Sekretaris. “Sok sini daftarin diri yang mau ngikut nyewa…” lanjutnya.
Segera seluruh anggota perempuan mendaftarkan diri ikut di mobil kecuali Erna.
“Na, kamu gakk ikut kita-kita?” Tanya Riska.
“aku mah ntar nyusul sama Bu Rika, kebetulan hari ini aku sama Bu Rika mau ada penelitian dulu, jadi takutnya ngehambat kalian, tapi kalo seandainya keburu, ntar aku ikut kalian juga kok.” Erna member penjelasan.
“maksudnya biar kursinya bisa dihitung, Na.” tukas Riska.
“gini aja, aku mah diitung ikut kalian aja dulu, ntar aku konfirmasi ke kalian jadi ikut bareng atau nggaknya kalo aku udah tau kepastian bisa nggaknya. Aku tetep bayar kok” jawab Erna sambil senyum-senyum.
“hmmm… ya udah kalo gitu.” Jawabnya. “eh Ceu Sekre, Erna cenah ikut ke kita-kita.”
“okeh, udah selese ya…sekarang kita tinggal menyepakati kapan mau kumpul buat berangkat. Maksudnya bagi yang mau pake kendaraan sewaan.” Ketua angkat bicara.
“pokoknya jam 5 udah harus berangkat, titik. Jam pulang kantor suka macet. Jadi biar nyampenya magrib jam 5 kudu udah berangkat dari sini.
***
Erna dan Bu Rika berjuang sekuat tenaga untuk merancang teknologi pengobatan TBC tulang melalui laser yang di tembakkan. Dibantu beberapa expertise dari beberapa kolega Bu Rika sebagai dokter dan peneliti. Setelah beberapa hari mereka belum juga menghasilkan suatu teknologi pengobatan yang canggih hingga akhirnya pada hari ke 17 dari sakitnya Bapak Kepala Sekolah, beliau meninggal dunia..
Kepergian Pak Kepala Sekolah cukup memukul perasaan seluruh civitas akademika SMK Hayati. Pagi itu begitu hening, suasana sedih masih begitu pekat membalut sekolah, bunga-bunga ucapan bela sungkawa dari berbagai pihak baik instansi maupun pribadi bertumpuk di halaman sekolah, begitu banyak orang yang kehilangan sosoknya yang ramah, jenius, santun dan senantiasa berbudi pekerti baik. Seakan tiada yang dapat menggantikan sosok seindah beliau. Dalam benak para siswa, mereka masih merasakan betapa Bapak begitu bijaksana, penuh wibawa dan kharisma, senantiasa menebar senyuman yang mampu mengubah kehidupan dunia seakan tanpa beban untuk dijalani.
Yazid melangkah menuju tengah lapangan, seakan ia sedang merasakan kehadiran Bapak Kepala yang sedang memimpin upacara bendera Hari Senin terakhir menjelang kepergian beliau.
“anak-anakku, hidup bukanlah hanya sekedar belajar di kelas dan berorganisasi serta bercengkrama dengan sanak family, guru, maupun teman sepergaulan. Kehidupan ini berjalan karena kita harus menyadari bahwa setiap yang berawal maka ia akan berakhir. Maka hendaklah kita senantiasa memanfaatkan diri kita bagi kehidupan kita kelak, kehidupan dimana tak lagi berguna semua yang kita kumpulkan hari ini hingga penutupan usia kita, kehidupan dimana hanya kita dan Alloh saja. Pada hari itu, tak kan ada pembatas antara kita dengan-Nya.
Kemanfaatan diri kita bergantung pada seberapa kuat tekad kita untuk menggapai ridho-Nya. Semakin kita menguatkan diri untuk berusaha menjadi orang yang benar-benar bermanfaat, maka Alloh akan menurunkan kepada kita ujian seberapa kuat niat kita itu. Andai kekuatan niat itu hanya isapan jempol belaka, niscaya ia akan berhenti tepat ketika ia mengalami hal yang tak mengenakan. Begitu juga jika sebaliknya, di saat niat kita begitu kuat terhujam dalam hati dan murni, maka sekuat apapun badai cobaan yang menghantam, sehebat apapun hantaman angin godaan yang dirasakan, sedalam apapun jurang kepedihan yang harus dilalui, ia akan tetap menatap jauh dan terus melangkah dengan penuh keyakinan menuju ridho-Nya. Perjalanan untuk menjadi manusia yang betul-betul bermanfaat bukalnah hal yang gampang, ia begitu banyak memiliki jurang-jurang kepedihan dan lautan rintangan. Namun semua itu tak harus menjadi suatu hal yang mustahil dilalui, karena apa yang harus kita yakini adalah, setiap apa yang menjadi hak dan kewajiban Alloh terhadap kita, tak perlu lantas kita yang memikirkannya. Biarlah kita urus saja kewaiban kita terhadap-Nya, tanpa perlu pusing memikirkan hak-hak kita dari-Nya. Itu yang dinamakan keikhlasan.
Kehidupan ini hanyalah sekejap, meski takkan ada yang tahu kapan berkahirnya kecuali Dia semata. Berkahirnya kehidupan kita di dunia ini bukanlah akhir dari segalanya, juga bukan awal dari segalanya. Karena awal dari segalanya bagi makhluq adalah ketiadaan, begitu juga akhir darinya, ia adalah ketiadaan. Karena keberadaan yang hakiki hanyalah keberadaan Alloh semata. Camkanlah itu anak-anak ku.
Tentunya perlu kalian sadari, bahwa kehidupan ini adalah pilihan-pilihan, pilihan antara menjadi baik ataupun menjadi buruk, sholeh atau durjana, itu yang disebut dengan takdir.”
